Oleh
Achmad Murtafi Haris*
Belum lama ini, Desember 2019, Tri Rismaharini Walikota Surabaya diundang oleh Partai pimpinan Erdogan, presiden Turki, untuk presentasi dalam forum wanita di Ankara. Sebelumnya, Mei 2018, walikota perempuan itu juga diundang untuk presentasi pengalaman suksesnya dalam memimpin kota di kota Madinah, Arab Saudi.
Selain Risma, sebagai seorang wanita sukses, Sri Mulyani juga pernah diundang Uni Emirat Arab untuk menerima penghargaan menteri terbaik di dunia dan Stateperson Award pada November 2019. Jadilah duo srikandi Indonesia itu sebagai inspirator sukses kaum hawa di dunia Arab dalam membangun daerah dan negara.
Undangan terhadap Risma di Arab Saudi, negara yang di bawah kepemimpinan Putra Mahkota Muhammad b. Salman tengah melakukan perubahan besar terkait kebebasan ruang publik bagi kaum wanita, menjadi lebih berarti. Ia mengadung makna agar ada wanita Arab Saudi yang sukses seperti Risma menjadi salah satu walikota terbaik di dunia.
Di era modern ini, yang telah terbuka peluang yang luas bagi wanita untuk berkuliah dan berkarir, posisi wanita di ranah politik dan pemerintahan tetap tidak seberuntung lelaki. Baik di legislatif, eksekutif (menjadi kepala daerah) mau pun yudikatif, peran mereka tidak sampai 30 persen.
Representasi yang kecil ini sebenarnya bukan karena tidak adanya keberpihakan, tapi karena faktor multidimensional. Tradisi, budaya dan ajaran keagamaan sering disebut sebagai penyebab di balik itu, meski kenyataanya, tidak selalu begitu.
Sekaliber negara Amerika yang sangat maju dan kampium demokrasi yang tentunya menjunjung tinggi gender equality, ternyata hingga kini belum ada wanita yang menjadi presiden (kalah dengan Indonesia yang sudah pernah memiliki presiden wanita, Megawati Soekarno Putri).