Selain potensi konflik penafsiran, kehadiran Pancasila di tengah kehidupan juga kurang terasa. Suatu hal yang lebih bersifat afeksi daripada kognisi. Sujiwo Tejo dalam diskusi di ILC bertanya dengan lantang: “Mana Pancasila dalam kehidupan kita?!”. Artinya bahwa falsafah Pancasila sebagai sumber nilai tidak terasa pengaruhnya bagi kita. Dia kemudian memberi contoh: “Saya kalau di forum tidak pernah melihat HP kalau ada orang bicara. Demikian juga saya kalau sedang bicara, saya larang orang menghubungi saya. Ini adalah moral Pancasila”, demikian kata Tejo sang dalang koboi.
Kebutuhan akan corak khas Pancasila memang tidak bisa dihindari kalau tidak ingin dianggap tidak eksis. Seperti di negara Barat yang kapitalis, nampak ada penciri gemerlap cahaya kota sementara di negara komunis hening dan kurang pencahayaan. Ini adalah distingsi yang nyata yang menjelaskan identitas Ideologi.
Identitas Pancasila dalam budaya bangsa dengan demikian perlu dipertebal agar tidak terpinggirkan oleh identitas primordial dan universal. Banyaknya hal yang beririsan dalam nilai kehidupan, menjadikan problem identitas Pancasila semakin nyata. Seperti nilai toleransi dan penghargaan terhadap kebhinnekaan, ia telah menjadi nilai universal sehingga seolah bukan keunggulan nilai Pancasila. Ideologi Islam pun demikian meyakini bahwa toleransi adalah nilai Islam yang telah menyatu dalam jiwa umat Islam Indonesia.
Tumpang tindih antara nilai lokal, agama dan universal sering menjadikan identitas Pancasila tergeser. Paling kalau ada kelompok Islam garis keras melakukan aksi main hakim sendiri dengan merusak tempat yang diduga menjadi sarang maksiat, baru orang akan berkata bahwa “Ini negara Pancasila bukan negara Islam, jangan main hakim sendiri!”.
Seolah Pancasila memberikan peluang bagi praktek kemaksiatan, padahal tidak. Selain Pancasila juga menolak tindakan main hakim sendiri atas nama agama. Kalau ada yang negatif yang disalahkan Pancasila. Kalau ada yang positif, seperti toleransi, Pancasila dilupakan yang disebut sumber nilai yang lain.
Ini resiko Pancasila sebagai ideologi jalan tengah dan terbuka yang ‘lemah’ secara identitas. Sejatinya, identitas bisa dibangun jika positioning jelas: kiri atau kanan? Setelah itu untuk pengembangan perlu bergeser ke kanan ke kiri demi menjawab tantangan zaman.