Pancasila dan Resiko Jalan Tengah

Sebelum ada Pancasila, umat Islam Indonesia sudah Pancasilais tidak seperti mereka yang tidak konsekuen terhadap dasar sila Ketuhanan yang Maha Esa, maka mereka akan terus mencari-cari bentuk padahal dalam Islam ia telah jelas adanya, tulis A. R. Baswedan (1955) tentang Siapa Musuh Pancasila yang dimuat ulang di Republika 20/02/2020.

Perdebatan ILC kemarin sejatinya adalah repetisi dari apa yang terjadi di awal kemerdekaan. Pemerintahan yang sedari awal kemerdekaan hingga kini banyak dipimpin oleh kalangan Nasionalis  (kecuali Presiden Abdurrahman Wahid / Gus Dur), dalam mepresrentasikan ideologi Pancasila, selalu bersinggungan dengan kelompok Islam ideologis atau yang oleh Gus Dur disebut dengan Islam Kanan.

Bacaan Lainnya

Dibandingkan dengan era Soekarno, di mana pada Pemilu 1955 kelompok Islam mendapat suara  melimpah: Masyumi 20,9%, Nahdlatul Ulama 18,4%, Partai Syarikat Islam Indonesia 2.89%, total 41%. Suara partai Islam saat ini, hasil pemilu 2019, jauh menurun: PKB 9,04%, PPP 6,53%,  PAN 7,59%, PKS 6,79%, (total 30% turun  11%).

Angka ini menjadikan maklum mengapa perdebatan  antara kelompok Nasionalis dan Islam seputar Pancasila tidak lagi heboh, yaitu lantaran kekuatan politik Islam menurun. Hingga muncullah Persaudaraan Alumni (PA) 212 dengan motor Habib Rizieq Shihab di mana penafsiran Pancasila yang selama ini ‘nasionalis heavy’ kembali digugat bahkan dengan terang-terangan pada Agustus 2019 imam besar FPI itu menyebut Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tidak faham esensi Pancasila. Rizieq kembali mengusung penafsiran Pancasila versi ‘syariah’ mirip pandangan Masyumi dan memperjuangkan paradigma yang telah lama tenggelam oleh rezim Orde Baru dan perubahan konstelasi politik nasional.

Selain sebagai ideologi tengah seperti kata Mahfud MD, Pancasila juga dinyatakan sebagai ideologi terbuka (Moerdiono, 1992). Sifat ini mendorong Pancasila sebagai ideologi yang dinamis dan luwes dalam menghadapi  perubahan zaman dengan menggali dari nilai luhur budaya Indonesia.

Lagi, sifat ini juga membuka peluang tarik-menarik antar kelompok ideologi. Di era Soekarno, komunisme pernah mendominasi pemaknaan Pancasila. Demikian pula di era Soeharto, pemaknaan Pancasila dikendalikan pemerintah dan dimanfaatkan untuk menyerang lawan politik dari kelompok Islam.

Pos terkait