Oleh
Achmad Murtafi Haris*
Dalam diskusi Indonesia Lawyer Club TvOne yang membahas pernyataan kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi bahwa ‘Agama’ adalah musuh Pancasila, tegang diperdebatkan seputar kebenaran ucapan tersebut.
Inti dari perdebatan itu adalah, bahwa di satu pihak pernyataan Kepala BPIP itu dianggap pelecehan terhadap agama dan di pihak lain tidak demikian. Pernyataan itu ditujukan bukan kepada agama tapi kepada kelompok agama tertentu yang pandangan politiknya tidak sejalan dengan ideologi Pancasila.
Sebagai closing remark, Mahfud MD, Menko Polhukam mengatakan bahwa Pancasila tidaklah bertentangan dengan agama dan bahwa Pancasila adalah ideologi jalan tengah (modus vivendi) yang tidak sekular seperti yang semula Soekarno inginkan dan bukan negara Islam seperti yang semula M. Natsir (1908-1993), pemimpin Masyumi, inginkan.
Sebagai ideologi jalan tengah, Pancasila selalu dalam tarik menarik antara kelompok ‘kanan’ dan ‘kiri’. Ini resiko memilih posisi tengah yang secara alamiah berada di antara tegangan positif dan negatif. Posisi yang rawan terkena setrum jika tidak benar-benar di tengah.
Ulil Abshar Abdalla pada launching Institute for Islamic and Peace Studies di Graha Pena Surabaya (2007) mengatakan, bahwa berada di tengah amatlah baik jika mampu. Jika tidak, maka ia tidaklah nyaman karena berada di antara dua tegangan. Nampaknya, inilah yang terjadi pada Pancasila yang hingga kini dianggap terlalu didominasi oleh kelompok tertentu (nasionalis) dalam penafsirannya.
M. Natsir dan tokoh Masyumi lainnya kerap mengkritik Soekarno dan kelompok Nasionalis karena dianggap sok Pancasilais. Hal ini sebagai tanggapan atas tuduhan kelompok Nasionalis bahwa kelompok Islam tidak Pancasilais.
Inti dari argumentasi Natsir (ceramah Nuzulul Quran, Mei 1954) adalah bahwa kelompok Islamlah yang lebih Pancasilais sebab mereka terlebih dahulu menjiwai nilai-nilai Pancasila yang didasarkan pada Ketuhanan yang Maha Esa.