Oleh:
M. Dimyati Huda
(Pakar Ilmu Perbandingan Agama/Antropologi Agama IAIN Kediri)
Meskipun fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mengikat layaknya peraturan-peraturan jalur legislasi, namun euforia umat beragama selalu sensitif ketika MUI mengeluarkan fatwa. Paling mutakhir, MUI menetapkan fatwa pelarangan mengucapkan salam lintas agama. Fatwa ini sekaligus menjadi jawaban dari desas desus dialektika kebolehan-larangan mengucapakan salam antar pemuluk agama selama bertahun-tahun. Namun ternyata, fatwa inipun juga melahirkan dialektika pada konteks yang lebih sensitif yakni potensi intoleran.
Semua tahu, mengucapkan salam pada penganut agama lain efeknya tidak se-bombastis mencela ataupun mencaci agama lain. Salam merupakan doa, dimana setiap agama memiliki bahasa sendiri-sendiri yang bertujuan sama: mendoakan kebaikan. Tapi kenapa mesti dipersoalkan? “Apapun kebijakan lembaga agama (MUI, Kemenag, read) pasti melahirkan persepsi”. Slogan ini diadopsi dari ucapan Karl Marx “die religion … ist das opium des volkes” (agama adalah opium bagi masyarakat). Jadi apapun isunya, bahkan sekecil biji charmomil (buah biji-bijian Jerman) akan menimbulkan dialektika.
Dialektik tentu bukan hambatan. Kendati fatwa MUI tidak menimbulkan sanksi, namun sosio-legal effect menggelembung di akar rumput. Fatwa MUI seperti bola salju yang menjalar ke semua arah, sehingga menimbulkan cara pandang yang berbeda-beda. Seperti perkataan Thomas Pierred, risetnya di Indonesia, menyebut MUI sebagai religion machine (mesin fatwa agama). Dalam artian, fatwa-fatwa MUI merupakan blue print yang menggelinding di permukaan, lalu tenggelam menyisir bagian-bagian sub sistem sosial, sampai ke wilayah teologis.
Posisi MUI memang sangat urgen di tatanan kenegaraan, walaupun bukan lembaga legislatif, namun eksistensinya sebagai “kumpulan ulama” ditakdzimi oleh umat Islam. MUI bukan lembaga kongsi-pragmatis, namun forum ijtihad yang memperjuangkan hak-hak esensial umat Islam.
MUI tentu bukan lembaga oposan, apalagi kontra pemerintah, penentang moderasi agama juga bukan. MUI adalah lembaga fatwa yang bebas dari intervensi siapapun, karena berangkat dari sikap tabarru’ wa al-akhdam. Karena itu, MUI seringkali dianggap targeted mayority, dimana putusan fatwanya empuk untuk dikritik.
“Mendandani” Toleransi
Tudingan intoleransi atau bahkan menciderai agenda moderasi beragama, tentu tidak dapat dibantah. Fatwa pelarangan mengucapkan salam secara terjurus untuk umat Islam, namun karena dilalah-nya ‘am, maka semua agama terimbas efeknya. Kenapa demikian? Karena ucapan salam adalah bentuk sapaan untuk membuka hubungan harmonis, selain juga, salam menjadi starting attitude untuk bersikap toleran.
Salam menjadi bukti bahwa secara etika, kita menghargai perbedaan. Analognya sederhana, ketika akan berkunjung ke rumah orang, etikanya, kita mesti mengetuk pintu dengan ucapan halus, maka salam itu adalah pintu membuka hubungan baik sebagai representasi sikap toleran.
Namun secara esensial, pelarangan salam bertentangan dengan toleransi, apalagi moderasi beragama. Mari kita lihat pemahaman yang sebenarnya tentang toleransi dikaitkan dengan fatwa MUI. Ambillah contoh sembahyang, shalat, atau penyebutan lainnya, setiap agama memiliki ritual yang berbeda-beda, namun sama-sama diwajibkan.
Sebagai umat toleran, tidak boleh menyalahkan ritual agama lain, sekalipun berbeda. Namun bukan berarti dianggap tidak taat, tapi lebih pada menghormati agama lain. Penghormatan inilah yang disebut toleransi, dengan cara tidak menghina, tidak mengganggu, tidak melarang umat lain melakukan ritual agamanya.
Dengan kata lain, ucapan salam memang bagian dari ubudiyah karena ada landasan normatifnya, namun bukan berarti menutup maslahah rapat-rapat. Dalam sebuah riwayat, salah satu sahabat Nabi mengadu: “ya rasulullah, tetangga saya sangat rajin beribadah, shalat malam, rajin berpuasa, namun dia tidak peduli kepada tetangganya”, lalu rasulullah menjawab, “orang itu termasuk ahli neraka” (HR. Muslim).
Kisah ini mengingatkan bahwa perkara ubudiyah yang memiliki irisan dengan ijtima’iyah (sosial), dikalahkan oleh ijtimaiyah. Maka mafhum mukhalafahnya, jika mengucapkan salam kepada umat lain dapat melahirkan kemaslahatan, maka sah-sah saja secara konteks hukum.
Kenapa ucapan salam disebut ubudiyah, orang-orang umumnya mengutip hadist Rasulullah “janganlah kamu memulai (mengucapkan) salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu menjumpai salah satu seorang dari mereka di jalan, maka desaklah merek ke sisi jalan yang paling sempit”.
Namun hadits tersebut konteks sejarahnya tidak sama dengan saat ini, dulu orang Yahudi dan Nasrani sering mengucap laknat dan mengutuk orang Islam. Hari ini konteksnya berbeda. Kita bisa mencontoh Rasulullah pada konteks yang harmoni. Semisal ketika Rasulullah menegur Aisyah ketika mendatangi orang Yahudi dengan ucapan “kematian bagimu, kehinaan bagimu”, Rasulullah menegur perlahan, “hai Aisyah, sesungguhnya Allah menyukai keramahan atas segala urusan” (HR. Bukhari).
Artinya pengucapan salam memiliki batasan, tidak final ubudiyah semata, sangat kontekstual. Mari lihat sikap Rasulullah ketika berhadapan dengan non muslim yang berbeda karakter. Nabi melarang mengucapkan salam kepada orang Yahudi karena suatu illat (sebab, motif) yaitu “memusuhi dan menghina” Nabi atau umat Islam, Nabi mengucapkan assamu’alaikum (bukan assalamu’alaikum).
Namun pada konteks non muslim yang baik, seperti raja Negus dari Etopia, Nabi mengucapkan assalamualaikum karena Raja Negus mempunyai hubungan erat dengan umat Islam. Hal ini menjadi bentuk kemaslahatan, memelihara persahabatan dan keakraban. Sebuah konteks toleransi yang ideal, kita-pun juga harus mampu bersikap demikian; sesuai konteks.
Kesamaan Persepsi
Kita tidak bisa menutup mata, di sekeliling dan sekitar, berada pada lanskap kehidupan yang beragam. Menyapa, tentu menjadi bagian relasi sosial sehari-hari. Noam Shomsky penah bertutur “mengucapkan simbol agama, lebih kuat emosinya”, ternyata pernyataan Shomsky ini diadaposi dari perkataan Ibnu Ara bi yang dikenal dengan istilah demartugi religius, semacam kekuatan emosial manusia terlatak pada agamanya. Dalam arti, sapaan berbentuk salam menurut agamanya, lebih dahsyat pengaruhnya menciptakan toleransi dibandingkan bahasa lain. Maka tidak salah, jika dalam forum-forum nasional salam semua agama diucapkan secara bergantian.
Hal ini dibenarkan oleh semua agama. Hindu misalnya, salam Om Swastyastu diyakini sebagai ucapan salam kebaikan untuk seluruh umat manusia, sekalipun berbeda keyakinan. Maka aturan agama Hindu, jika ada yang mengucapkan Om Swastyastu, dijawab Namaste. Siapapun yang mengucapkan, umat muslim, kristiani, dan sebagainya. Begitupun umat Kristen Katolik, salam sejahtera bagi kita semua, dimaknai perdamaian umat beragama, bukan hanya untuk umat tertentu saja.
Shalom, dalam agama Hindu diartikan “damai”, damai untuk semua umat, tidak memandang agama dan kelas sosial. Namo Budaya (terpujilah sang Budha) dan salam kebajikan (hanya kebajikan yang bisa menggerakkan Tuhan). Dalam kitab semua agama, salam diperuntukan untuk umat manusia tanpa memandang perbedaan.
Ada slogan menarik, “semua agama itu sama”, tentu jika dipahami secara tekstual keliru. Karena tidak mungkin semua agama itu sama; sama ajarannya, sama akidahnya, sama syariahnya. Tentu berbeda ajarannya. Namun terdapat “kesamaan” pada aspek tujuan; sama-sama mengandung kebaikan, kemaslahatan, keadilan, harmonis, toleran, hidup nyaman, tenang.
Begitu juga dalam Islam yang dikenal dengan istilah maqasid syariah, ada unsur keadilan, kemanfaatan, kebaikan dan sebagainya. Maka pada titik nilai tujuan inilah bertemu antar agama. pengucapan salam juga demikian, tidak digiring pada ranah ubudiyah semata, tapi dikontekstualisasikan secara muamalah, untuk menepis tabulasi Islam sabagai agama intoleran.