Siapkah ‘New Normal’ Pesantren di Era Belum Normal?

Lutfi Humaidi

Oleh
Lutfi Humaidi*

Pemerintah saat ini sedang menggaungkan new normal di tengah pandemi Covid-19 yang kian meluas dan menginfeksi jutaan orang di dunia, termasuk di Indonesia. Pemerintah telah menginstruksikan agar fase kenormalan baru ini dapat dipersiapkan dengan baik. Selain itu, sosialisasi new normal diinstruksikan oleh presiden dapat dilakukan secara besar-besaran.

Bacaan Lainnya

New normal menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud yaitu keadaan normal yang baru (belum pernah ada sebelumnya). Kalau dihubungkan dengan Covid-19, new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal dengan tetap menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19.

Era new normal mengharuskan masyarakat beradaptasi dengan kenormalan baru, seperti menggunakan masker ketika keluar rumah, selalu mencuci tangan, dan menjaga jarak fisik.

Meskipun nantinya pemerintah akan menerapkan new normal secara luas di beberapa sektor, namun jangan paksakan sektor pendidikan seperti sekolah, madrasah dan lebih-lebih pesantren untuk ikut uji caba menerapkannya. Pemerintah harus memiliki kebijakan new normal khusus untuk lingkungan pesantren.

Protokol kesehatan new normal yang diterapkan di kantor, perusahaan, hotel dan mall tak akan cocok untuk diterapkan juga di pesantren. Hal demikian tentu saja mengkhawatirkan. Alih-alih untuk menyelematkan santri justru dapat menjadi cluster baru pandemi Covid-19.

Data dari Kementerian Agama tahun 2020 jumlah pesantren di Indonesia tercatat sebanyak 28.194 pesantren dengan 5 juta santri mukim. Di pondok pesantren model pendidikannya dilakukan dengan pola pengasuhan. Santri diwajibkan mengikuti semua aktivitas selama 24 jam, mulai dengan kegiatan belajar di sekolah formal, madrasah diniyyah, mengaji, pendidikan keterampilan, penanaman dan pembiasaan nilai-nilai karakter/akhlaq. Santri di pondok baru diizinkan pulang setelah beberapa bulan di pondok.

Kesiapan pesantren menjalankan new normal harus menjadi perhatian pemerintah karena sebagian besar kondisi sarana dan prasarana pesantren belum memenuhi standar protokol kesehatan Covid-19. Mayoritas infrastuktur yang ada di pesantren cukup terbatas, dipastikan tak dapat menjamin keamanan dan kesehatan bagi santri. Sebagian besar pesantren di Indonesia memiliki keterbatasan fasilitas seperti kamar mandi, tempat wudhu, kamar santri, ruang belajar, hingga masjid/mushalla, dan lainnya.

Karena itu, pemerintah perlu melakukan pemetaan terlebih dahulu terkait kondisi dan kesiapan pesantren dalam penyelenggaaan pembelajaran tatap muka sesuai dengan standar kesehatan sesuai protokol kesehatan Covid-19.

Pemerintah perlu mempertimbangkan banyak hal, diantaranya aspek kasus Covid-19 di masyarakat yang masih terus meningkat, kesiapan SDM di pesantren, keterbatasan infrastuktur di pesantren, dan ketersediaan alat pelindung diri (APD). Hal ini kalau tak mendapatkan intervensi dari pemerintah, pesantren dengan potensi sedemikian luar biasanya bagi perkembangan bangsa, bisa menjadi problem besar bagi bangsa Indonesia.

Santri di pesantren biasanya tidak hanya berasal dari satu wilayah/daerah. Ini juga membutuhkan pemetaan, mana-mana saja daerah yang masuk dalam kategori zona merah dan hijau pandemi Covid-19. Tidak bisa kemudian setelah datang di pesantren santri yang berasal dari zona merah berbaur dengan santri yang berasal dari zona hijau.

Dan ini sangat berat untuk dapat dihindari oleh santri, karena mereka sudah lama tidak ketemu dengan temannya, kangen, dan lain sebagainya. Kemudian santri sesampai di pesantren perlu juga dilakukan isolasi diri, bisa tidak ini dilakukan melihat kebanyakan pesantren memiliki keterbatasan sarana-prasarana. Apakah ini sudah semua sudah dipersiapkan?

Salah satu yang mutlak harus berubah di era “normal baru”, semua tidak boleh hanya peduli kenyamanan, keamanan, dan keselamatan diri sendiri saja, tapi wajib peduli kenyamanan-keamanan dan keselamatan orang lain. Menanamkan moralitas yang sejatinya ada dalam semua tradisi lokal kita, ketika individu kini sudah nyaman dengan “kostum” individualistiknya yang terasa sebagai ciri orang modern, memang sulit. Semuanya pasti akan makan waktu, pengorbanan dan mungkin akan banyak kegagalan.

New Normal Khusus Dunia Pesantren
Beberapa langkah yang bisa diambil untuk berpikir ulang dalam penerapan new normal di lingkungan pesantren, di tengah penyebaran pandemi Covid-19 yang kian meluas:

  1. Pemerintah perlu mengajak diskusi pesantren yang dapat diwakili oleh Asosiasi Pesantren Indonesia Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI-PBNU) dengan melibatkan juga ahli Kesehatan, untuk memetakan kondisi dan kesiapan pesantren dalam penyelenggaaan pembelajaran tatap muka sesuai dengan standar kesehatan sesuai protokol kesehatan Covid-19.
  2. Pesantren perlu menyediakan Pusat Kesehatan Pesantren (Puskestren) beserta tenaga dan alat medis, sarana MCK yang memenuhi standar protokol Covid-19, westafel portable dan penyemprotan disinfektan, alat perlindungan diri (APD), alat rapid test, hand sanitizer, masker.
  3. Pesantren perlu menambah kebutuhan ruangan untuk ruang karantina, isolasi mandiri, ruang asrama dan ruang kelas untuk memenuhi standar penerapan physical distancing. Terlebih khusus pada konteks sarana belajar, sarana kesehatan dan pemenuhan ketahanan pangan selama new normal Covid-19.
  4. Pengasuh pesantren harus mempunyai langkah tegas untuk membatasi aktivitas santri sehingga tidak berinteraksi dengan pihak di luar pesantren yang berpotensi menjadi carrier wabah Covid-19.

Apabila tidak ada kepastiaan kebijakan dan bantuan dari pemerintah terhadap keempat hal tersebut, maka ‘new normal’ pesantren sangat sulit diterapkan. Mengingat kondisi sarana dan prasarana pesantren di Indonesia yang masih banyak belum memenuhi standar kesehatan untuk menjalankan konsep ‘new normal’.

Identitas Penulis
*Penulis merupakan Doktor Ilmu Penyuluhan IPB, ASN Kementerian Pertanian, Dosen STAI-NU Kepri, dan Alumni Santri Tambakberas Jombang.

_____________________

**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.

Pos terkait