Oleh:
Tati, S.Pd., MPA*
Kondisi Indonesia yang majemuk; dari adat, budaya, hingga kesukuan di berbagai daerah menjadikan kondisi sosial masyarakat yang juga beragam, termasuk kondisi pendidikan di berbagai daerah. Sekalipun Indonesia memiliki kurikulum nasional; yang harus menjadi pedoman untuk semua sekolah tapi belum tentu mampu mewujudkan output siswa yang sama. Khususnya siswa di daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar (3T).
Belum meratanya pendidikan di daerah 3T menjadi permasalahan yang belum usai. Sementara, akses pendidikan menjadi hak dasar bagi seluruh warga negara Indonesia. Sebagaimana Amandemen UUD 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SPSN), juga UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang menyebutkan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama atas pendidikan.
Sejalan dengan program Kementrian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) yang dinahkodai Nadiem Anwar Makarim, yaitu program Merdeka Belajar dan Sekolah Penggerak. Salah satu pilar utama dalam program Merdeka Belajar adalah memberikan akses dan kemudahan kualitas pendidikan terutama di daerah-daerah yang paling membutuhkan.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2020 tentang penetapan daerah tertinggal tahun 2020-2024 menetapkan 62 daerah yang tertinggal, dengan kriteria dalam Pasal 2 (1), yaitu suatu daerah ditetapkan sebagai berdasarkan kriteria: perekonomian masyarakat; sumber daya manusia; sarana dan prasarana; kemampuan keuangan daerah; aksesibilitas; dan karakteristik daerah.
Kurikulum untuk Daerah Tertinggal
Kurikulum nasional dan kurikulum tingkat satuan pendidikan itu berbeda. Kurikulum nasional merupakan kurikulum yang ditetapkan pemerintah sebagai acuan para guru untuk menyusun kurikulum di tingkat satuan pendidikan. Sedangkan, kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan kurikulum yang seharusnya secara periodik dievaluasi dan diperbaiki agar sesuai dengan perubahan karakteristik peserta didik serta perkembangan isu kontemporer.
Kerangka kurikulum nasional relatif ajeg, tidak cepat berubah, tapi memungkinkan adaptasi dan menghadirkan perubahan yang cepat di tingkat sekolah. Sedangkan kurikulum Merdeka akan menjadi kurikulum nasional pada tahun 2024, setelah sebelumnya terdapat K-13.
Dalam konteks kurikulum Merdeka di daerah tertinggal, pada pedoman buku Tanya Jawa Kurikulum Merdeka Kemendikbud disebutkan profil pelajar Pancasila. Profil pelajar Pancasila adalah profil lulusan yang bertujuan untuk menunjukkan karakter dan kompetensi yang diharapkan. Aktifitas pembelajarannya berupa kajian, penelitian, diskusi, bakti sosial, metode penguatan fisik, dan mental atau pembelajaran berbasis projek untuk menginternalisasi karakter profil pelajar.
Satuan pendidikan dan/atau pemerintah daerah yang tertinggal dapat mengintegrasikan muatan lokal ke dalam tema projek penguatan profil pelajar Pancasila. Misalnya projek wirausaha dengan potensi kerajinan lokal, projek dengan tema perubahan iklim dapat dikaitkan dengan isu-isu lingkungan di wilayah tersebut, dan sebagainya.
Oleh karena itu, penerapan kurikulum merupakan tugas sekolah dan otonomi bagi guru. Guru sebagai pekerja profesional memiliki kewenangan untuk bekerja secara otonom, sesuai dengan karakteristik murid dan kondisi sekolah. Berikut langkah yang dapat dilakukan guru.
Pertama, Memiliki Paradigma yang Berorientasi pada Manajemen Perubahan
Sebagai seorang guru, jangan begitu merespon pro kontra kurikulum Merdeka. Guru harus berfokus untuk menyusun dan menginterpretasikan bagaimana kurikulum merdeka dengan kondisi daerah tertinggal tempatnya mengajar. Guru melakukan penekanan kemajuan kompetensi peserta didik sesuai standar pendidikan nasional dalam Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2021.
Selain itu, guru juga perlu pengelolaan yang cermat sehingga menghasilkan dampak yang kita inginkan, yaitu perbaikan kualitas pembelajaran dan pendidikan di Indonesia. Karena itu, Kemendikbudristek memberikan opsi kurikulum sebagai salah satu upaya manajemen perubahan.
Kedua, Menguatkan Rasa Kepemilikan
Esensi dari merdeka belajar sebenarnya adalah ownership atau rasa kepemilikan. Menguatkan rasa kepemilikan terhadap sekolah, siswa, dan daerahnya sendiri. Dengan demikian, pemerintah daerah dan satuan pendidikan diharapkan bisa melakukan hal yang sesuai dengan masalah yang dihadapi masing-masing secara kompleksitas. Karena setiap daerah dan satuan pendidikan menghadapi masalah yang berbeda-beda. Menjadi guru dituntut untuk mampu memberikan keteladanan dan problem solver.
Ketiga, Memahami Akses Fasilitasi Merdeka Belajar
Hadirnya kurikulum Merdeka Belajar ini juga telah melalui proses perumusan panjang para stakeholder, khususnya Kemendikbud. Sehingga pemerintah mendukung terlaksanakan perbaikan pendidikan di berbagai jenjang.
Saat ini, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi(Ditjen Diktiristek) Kemendikbudristek telah menyiapkan Mobil Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan Mobil Vaksinasi sebagai solusi dan inovasi kebutuhan mendukung PJJ serta akses internet untuk pendidikan di daerah 3T.
Kemudian, terdapat juga dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) langsung dari Kemendikbud untuk di transfer kesekolah-sekolah daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Juga menghindari banyak kasus terjadi penundaan-penundaan penerimaan dana BOS yang mengakibatkan sekolah harus tetap memungut biaya dari orang tua.
Dalam kurikulum Merdeka juga, terdapat program digitalisasi sekolah yang memang diprioritaskan untuk daerah 3T yang belum memiliki perangkat dan akses internet, atau sudah memiliki akses internet tetapi belum memiliki perangkatnya.
Untuk memahami optimalisasi penggunaan teknologi, terdapat juga e-Guru.id yang menyediakan program membership dengan satu kali membayar gratis pelatihan bersertifikat 32 JP setiap bulannya.
Keempat, Komunikatif dengan Orang Tua/Wali Peserta Didik
Orang tua siswa merupakan komponen yang tidak bisa dinomorsekiankan dalam proses pembelajaran. Apa lagi kondisi orang tua/wali setiap siswa juga beragam, yang tentu dalam berkomunikasipun terkadang guru perlu pendekatan dengan orang tua/wali siswa secara maksimal. Hal tersebut berpengaruh pada kesesuaian orang tua/wali ketika memberikan pola asuhnya terhadap anak.
Orang tua/wali dapat memahami pertumbuhan dan perkembangan anaknya setelah berkomunikasi dengan guru. Sebagai guru juga, perlu mendorong orang tua/wali untuk turut melakukan pendampingan. Bahkan jika diperlukan juga, guru memberikan ruang khusus untuk mengadakan pelatihan pendampingan untuk orang tua/wali.
Kelima, Meminta Pemerindah Daerah untuk Menghadirkan Organisasi Penggerak
Pada tingkatan kampus sudah ada program Kampus Pengajar Perintis yakni kegiatan belajar berbentuk asistensi untuk memberdayakan mahasiswa dalam proses belajar mengajar, bahkan sampai ke daerah 3T. Sedangkan organisasi penggerak di berbagai daerah atau tingkatan pusat belum bisa bekerja sama secara maksimal untuk memberikan pendampingan pelaksanaan kurikulum Merdeka.
Organisasi penggerak ini memiliki manfaat yang cukup banyak. Mereka dapat memberikan edukasi-edukasi, pelatihan-pelatihan untuk siswa, orang tua/wali siswa, maupun pemerintah daerah setempat. Tidak harus dengan membentuk organisasi penggerak yang baru, cukup dengan meminta organisasi yang sudah berfokus pada isu pendidikan.
Identitas Penulis
*Penulis adalah Dosen Administrasi Publik UM Bandung, Hubungan Antar Lembaga JPPR.
**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com atau ke Wa Center
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.
**Redaksi berhak merubah judul untuk keperluan SEO (search engine optimization)