Oleh
Dwi Indah Lestari*
Dari berbagai hak yang seharusnya diterima oleh rakyat adalah mendapatkan fasilitas jalan yang memadai. Tentu saja pihak yang bertanggung jawab untuk menyediakannya siapa lagi kalau bukan negara.
Namun hal itu sepertinya tidak selalu terwujud. Salah satunya adalah kerusakan parah ruas jalan di depan pasar Jaddih, Desa Jaddih Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan. Dilansir dari tribunnews.com (7/2/2022), sudah sekitar 3 tahunan jalan rusak tersebut belum mendapatkan perbaikan. Warga setempat kemudian berinisiatif untuk urunan memperbaikinya, setelah mengetahui bahwa anggaran perbaikan jalan belum masuk di Dinas PUPR Kabupaten Bangkalan untuk tahun 2022.
Dikutip dari laman berita yang sama, Dinas PUPR sebenarnya telah mengajukan usulan peningkatan status 25 ruas jalan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan perkiraan biaya Rp110 miliar. Namun ternyata hanya disetujui sekitar 7 ruas jalan saja dengan anggaran Rp30 miliar pada tahun 2022. Hal ini akibat dari dampak pandemi Covid-19, yang mengharuskan adanya kebijakan refocusing anggaran.
Penyediaan Jalan, Tanggung Jawab Siapa?
Negara (pemimpin) adalah sebuah institusi yang telah diberikan kekuasaan oleh rakyat untuk mengurusi urusannya. Rakyat telah mempercayakan negara untuk mengatur kehidupan mereka agar bisa berjalan dengan teratur dan mencapai kemakmuran. Di antaranya adalah penyediaan infrastruktur jalan yang baik dan memadai. Sebab hal itu penting untuk memudahkan masyarakat dalam menjalankan aktivitas kesehariaannya.
Masyarakat membutuhkan jalan saat akan mengakses pusat-pusat kesehatan, ekonomi atau pun pendidikan. Bayangkan karena jalan rusak, warga terhambat untuk segera sampai di rumah sakit, ke sekolah atau tempat kerja. Jalan yang rusak juga sangat berbahaya, karena rawan menyebabkan kecelakaan. Apalagi saat hujan, air akan memenuhi lubang jalan, sehingga tidak terlihat. Hal ini sangat membahayakan keselamatan pengguna jalan.
Mirisnya, perbaikan kerusakan jalan kerap terbentur birokrasi yang begitu rumit dan berbelit. Minimnya anggaran perbaikan jalan yang dimiliki pemerintah daerah, tidak dapat segera dicover oleh pusat. Namun harus melalui jalur pengajuan usulan dengan antrian panjang serta ketidakpastian apakah akan disetujui atau tidak. Maka wajarlah, bila sering ditemui ruas-ruas jalan yang rusak terbengkalai selama bertahun-tahun.
Padahal pembiaran dan lambannya penanganan semacam itu justru menyebabkan kerusakan jalan semakin parah. Kondisi seperti ini terutama kerap dijumpai di jalan-jalan pedesaan atau perkampungan. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa bisa demikian? Apakah karena jalan-jalan di wilayah tersebut kurang menguntungkan sehingga tidak menjadi prioritas? Sampai-sampai warga harus swadaya untuk memperbaikinya.
Upaya warga tersebut adalah hal yang baik. Namun masyarakat harus pula memiliki kesadaran, bahwa tersedianya jalan yang memadai adalah hak yang harus mereka terima. Sedangkan tugas untuk menyediakannya ada di tangan negara (penguasa). Jadi pembangunan infrastruktur jalan yang bagus bukanlah semata-mata pemberian atau hadiah dari negara, tetapi memang sudah menjadi tanggungjawabnya.
Apalagi pembiayaannya pun mengambil dari anggaran APBN. Sementara sumber pemasukan APBN salah satunya adalah dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Untuk itu sudah semestinya, mereka dapat menikmati hasilnya berupa infrastruktur yang dibangun oleh negara, termasuk jalan. Inilah salah satu bentuk pengurusan negara kepada rakyat yang telah memilihnya.
Khawatirnya Umar bin Khattab Pada Seekor Keledai
Sebuah kisah kepemimpinan di masa khalifah Umar bin Khattab mungkin bisa menjadi renungan. Suatu ketika, beliau mendapat berita dari salah seorang pembantunya bahwa di tanah Irak, seekor keledai terjatuh dan mati jatuh ke jurang, akibat jalan yang dilewatinya rusak dan berlubang. Sang khalifah pun menangis dan terlihat sangat terpukul mendengar kejadian itu.
Dengan heran pembantu beliau bertanya mengapa khalifah Umar begitu bersedih padahal yang mati hanyalah seekor keledai. Lalu dengan nada menahan marah, beliau menjawab, “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah Ta’ala, ‘Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?’.
Luar biasa gambaran kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Umar bin Khattab. Hal ini tidak terlepas dari pembinaan yang diterimanya dari Rasulullah Saw, sehingga menjadikannya sebagai pemimpin yang amanah. Beliau memahami bahwa kekuasaan yang saat itu digenggamnya kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak di akhirat. Sehingga menjadikannya takut untuk melalaikannya.
“Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Paradigma semacam ini yang terbentuk dalam penerapan sistem Islam pada saat itu, turut memberikan penjagaan agar pemimpin tidak melenceng dari amanah yang diembannya. Mereka senantiasa menempatkan kemaslahatan rakyat sebagai hal utama dalam membuat kebijakan, bukan untung rugi. Sehingga sistem pelayanan birokrasi dibuat sederhana, mudah, dan cepat.
Seperti halnya dalam penyediaan infrastruktur jalan, bila anggaran daerah tidak mencukupi maka pemerintah pusat tidak ragu-ragu untuk mengeluarkan pembiayaan bagi perbaikan jalan-jalan yang rusak, tanpa proses yang panjang dan berbelit. SDA yang dimiliki sangat berlimpah ruah, lebih dari cukup untuk memberikan pemasukan bagi kas negara sehingga mampu membiayai kebutuhan-kebutuhan semacam ini.
Rasanya saat ini rakyat merindukan pemimpin-pemimpin seperti Umar bin Khattab, yang begitu peduli dengan kepentingan rakyatnya. Bahkan seekor keledai pun tidak luput dari perhatian beliau. Negeri ini membutuhkan perubahan paradigma tentang bagaimana pengurusan urusan masyarakat sebagaimana yang ditunjukkan dalam Islam. Dengan begitu niscaya keadilan dan kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan betul-betul akan terwujud. Wallahu’alam bisshowab.
Identitas Penulis
*Penulis adalah alumni Institut Pertanian Bogor, Penulis buku antologi di antaranya Mutiara Istimewa, Untuk Permata Hati, Miracle of Life, dan sebuah buku solo Petualangan Nameera di Negeri Sakura.
**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com atau ke Wa Center
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.
**Redaksi berhak merubah judul untuk keperluan SEO (search engine optimization)