Oleh
Rif’an Hariri S.TP*
Kopi adalah komoditas hasil pertanian yang sangat sering dikonsumsi oleh masyarakat. Tidak hanya di Indonesia tapi juga diseluruh dunia. Indonesia adalah salah satu penghasil kopi terbesar di dunia setelah Brazil dan Vietnam. Setiap pada tanggal 1 Oktober diperingati hari kopi sedunia. Tidak salah jika kopi mendapat julukan “minuman sejuta umat”.
Kopi sudah biasa dinikmati ketika bersantai atau berkumpul dengan keluarga atau teman. Kopi sudah sering dinikmati oleh masyarakat dari berbagai kalangan, mulai dari kelas atas maupun masyarakat kelas menengah ke bawah. Bisa dikatakan meminum kopi tidak hanya dilakukan untuk mengisi waktu luang tetapi sudah menjadi budaya masyarakat.
Pada saat ini sudah mulai bermunculan kafe maupun kedai kopi di berbagai tempat. Permintaan kopi dari negara lain juga banyak. Logika sederhananya dengan permintaan kopi yang sangat tinggi ditambah dengan iklim di Indonesia yang mendukung untuk budidaya kopi maka petani kopi semakin sejahtera.
Ketika permintaan kopi sangat tinggi yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan kesejahteraan petani kopi? Pangsa pasar kopi yang begitu besar siapa yang menikmatinya? Apakah petani kopi rela jika anaknya suatu saat menjalani profesi sebagai petani kopi? Ataukah petani kopi lebih berharap anaknya bekerja dikantor dengan gaji bulanan yang pasti? Inilah pertanyaan yang harus dijawab.
Tidak mengherankan petani kopi menginginkan anaknya menjalani profesi yang lain. Petani kopi masih banyak yang menggunakan sistem tradisional. Bila kita lihat saat ini masih banyak petani kopi yang menjual hasil panen dengan sistem ijon ke tengkulak. Sistem ijon adalah menjual ketika belum memasuki waktu panen. Cara semacam ini sangat merugikan petani. Petani belum mempunyai nilai tawar yang cukup kuat untuk mendapatakan keuntungan yang lebih.
Untuk menjual hasil olahan kopi harus menghadapi persaingan yang sangat ketat dengan kopi hasil produksi perusahaan besar. Ancaman gagal panen karena cuaca yang semakin tidak menentu serta faktor hama yang menyerang tanaman turut membayangi petani kopi. Dengan kata lain usaha yang telah dilakukan tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan.
Pada saat ini perlu melakukan pembenahan dalam hal tata kelola kopi baik dari hulu ke hilir. Petani kopi perlu ditingkatkan keterampilannya sehingga mampu mengolah kopi setelah dipanen untuk meningkatkan nilai jual kopi. Jika diteliti lebih mendalam penyebab rendahnya nilai jual kopi di tingkat petani adalah kurangnya keterampilan petani dalam hal pengolahan pascapanen. Banyak petani kopi mampu menghasilkan biji kopi yang berkualitas tetapi tidak mampu mengolahnya dengan baik sehingga harga biji kopi terjual dengan harga yang murah.
Selain dalam hal pengolahan pascapanen, perlu juga memperhatikan aspek pemasaran. Kopi yang sudah diolah dengan baik akan mempermudah dalam hal pemasaran, baik pasar tradisional maupun pasar modern. Selain itu para petani perlu mendapatkan pelatihan secara intensif terkait dengan keamanan pangan. Keamanan pangan ini untuk memastikan konsumen bahwa produk layak untuk dikonsumsi. Faktor keamanan pangan sangat diperlukan untuk masuk ke pasar modern.
Selain pengolahan pascapanen perlu membentuk kelembagan misalnya koperasi. Dengan dibentuknya kelembagaan maka akan mempermudah mendapatkan program pemberdayaan. Salah satu syarat dapat memperoleh program pemberdayaan adalah sudah terbentuk lembaga yang menaungi para petani. Program pemberdayaan baik dari swasta maupun pemerintah dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani kopi. Dengan terbentuknya kelembagaan maka dapat mempermudah memperoleh bantuan khususnya dalam hal sarana prasarana.
Oleh karena itu untuk meningkatkan kesejahteraan petrani kopi perlu kerjasama dari berbagai pihak. Bila tidak ada kerjasama dari berbagai pihak maka nasib petani kopi semakin terabaikan. Jika tidak ada yang peduli dengan nasib petani kopi maka yang menjadi pertanyaan adalah dari mana mendapatkan bahan baku kopi? Bagaimana dengan budaya minum kopi dimasyarakat? Bagaimana nasib pedagang kopi yang penghasilannya bergantung pada penjualan kopi?.
Pada akhirnya banyak masyarakat yang menggantungkan penghasilannya dari kopi. Meminum kopi atau lebih sering disebut dengan istilah ngopi bukan hanya sebagai sarana mengisi waktu luang dengan rekan atau keluarga tetapi pada intinya adalah dengan adanya budaya ngopi akan lebih mempererat rasa persaudaraan.
Identitas Penulis
*Penulis adalah Mahasiswa Magister Agribisnis Direktorat Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang.
**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com atau ke Wa Center
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.
**Redaksi berhak merubah judul untuk keperluan SEO (search engine optimization)