Positioning Santri dalam Pembangunan Negeri

Ilustrasi Santri Pondok Pesantren
Ilustrasi Santri Pondok Pesantren

Oleh
Muhammad Rizal Firdaus*

Dulu, santri kerap diasosiasikan dengan kesan kolot, terbelakang dan tradisional. Namun, kini anggapan itu mulai memudar sejalan dengan adanya pola penyesuaian dengan realitas yang ada, kini stereotip santri kolot dan terbelakang tidak layak lagi disematkan pada kaum santri. Santri hari ini mulai menunjukkan taringnya dalam berbagai aspek kehidupan.

Bacaan Lainnya

Banyak santri yang mulai melek teknologi dan digital adalah salah satu bukti bahwa santri terus berkembang mengikuti zaman. Kaidah al-muhafadhah ‘alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil aslah (memelihara yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik) nampaknya mampu diimplementasikan oleh santri hari ini yang kerap disebut juga sebagai kaum sarungan ini.

Lantas, sebenarnya dimanakah posisi yang tepat, kaum santri dalam konteks pembangunan bangsa, apakah santri hanya sebagai tameng pemerintah soal mempertahankan keutuhan NKRI  yang getol menyuarakan “NKRI HARGA MATI” atau fokus pada identitas yang melekat padanya yakni sebagai kaum cendekiawan Islam yang kerap andil dalam kampanye anti radikalisme. Jika demikian, rasanya sangat sempit dalam memahami identitas santri yang multidimensi tersebut yang kini santri mulai progresif dalam setiap lini.

Dalam tinjauan sejarah santri tidak bisa dipandang sebelah mata dalam merebut kemerdekaan bangsa ini, taruhlah resolusi jihad Nahdlatul Ulama’ yang diinisiasi oleh KH. Hasyim asy’ari di Surabaya menjadi bukti valid yang tak terbantahkan perihal peran santri untuk kemerdekaan bangsa ini, dalam perjalanannya kaum santri juga mempunyai peran sentral dalam pembentukan falsafah bangsa Indonesia, seorang KH. Wahid Hasyim ayah dari Gus Dur adalah salah satu penggagas dalam rumusan pancasila.

Selain itu, posisi santri sangat diperhitungkan dalam kancah politik nasional dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid yang kerap disapa Gus Dur sebagai presiden ke-4 Republik Indonesia meski dalam perjalanannya harus bersitegang dengan cucu Soekarno Ibu Megawati, namun perannya serta gagasan Gus Dur baik dalam kemanusiaan dan kenegaraan sangat signifikan bagi negara kita yang majemuk dan multietnis.

Dengan masifnya peran santri dalam perjalanan pembangunan bangsa ini tak heran penetapan hari santri sebagai hari sebagai salah satu hadiah yang teramat spesial bagi golongan santri, adanya hari santri adalah bentuk  kepedulian pemerintah dalam menghormati jasa dan peran santri dalam pembangunan negeri ini, meski begitu kaum santri tak boleh jumawa karena dianggap punya daya tawar yang tinggi di negeri ini, karena penetapan hari santri tidak serta merta diterima oleh semua golongan terutama bagi kaum non-santri yang menganggap bahwa kebijakan tersebut akan membuat polarisasi antara kaum santri dan non-santri. Selain itu, adanya hak istimewa bagi kaum santri juga akan mendiskreditkan kaum yang sama sekali tidak punya latar belakang santri.

Pada kenyatanya, anggapan bahwa dengan adanya peringatan hari santri sampai hari ini sama sekali tidak menimbulkan perpecahan dan dikotomi, adanya peringatan hari santri justru menunjukkan kemajemukan dan nilai kebhinekaan yang tinggi, sama halnya dengan adanya peringatan hari-hari lainya seperti hari ibu, hari tani dan lain sebagainya.

Meski ketakutan adanya konflik horizontal di masyarakat tidak terbukti, namun kaum sarungan harus merefleksikan diri bahwa peran santri sampai saat ini menjadi sorotan publik, santri menjadi entitas yang istimewa dan harusnya mempunyai peran lebih dalam pembangunan bangsa ini. Semisal kita ambil contoh dalam bidang politik saja, santri belum bisa mengambil peran yang utuh, jika kita menengok kepemimpinan saat ini, kaum santri hanya sebagai pendulang suara saja karena basis suara kaum sarungan cukup seksi dan kerap menjadi rebutan saat pemilu, baik itu tingkat nasional maupun tingkat daerah. Selain sebagai pendulang suara kaum sarungan kerap dilabeli sebagai spesialis second leader.

Maka, selain bidang politik tentunya masih banyak sektor lain yang sebenarnya lebih bisa diisi sesuai dengan basis kaum santri, namun saat ini para santri lebih banyak melirik dunia politik karena dianggap lebih prestisius, Sudah selayaknya santri hari tidak lagi sibuk antri dalam kancah politik saja, kini santri perlu  mengepakkan sayap kesatriannya di sektor lain. misalnya dalam ranah dakwah.

Menurut Max Weber dalam pembangunan suatu negara tidak bisa dilepaskan dari agama, Max Weber menyebutnya dengan etika protestan. Kepercayaan atau etika protestan menyatakan bahwa hal yang menentukan apakah mereka masuk surga atau masuk neraka adalah keberhasilan kerjanya selama di dunia. Apabila dia melakukan karya yang bermanfaat luas maka dapat dipastikan bahwa dia akan mendapatkan surga setelah mati. Semangat inilah yang membuat orang protestan melakukan kerja dengan sepenuh hati dan etos kerja yang tinggi. Dengan demikian, seluruh pekerjaan yang dilakukan akan serta merta menghasilkan surga dan agregat semangat individual inilah yang memunculkan kapitalisme di Eropa dan Amerika.

Selain Max Weber dalam teori pembangunan klasik ada Inkeles dan Smith juga mengkaji tentang pentingnya faktor manusia sebagai faktor penting dalam penopang pembangunan. Pembangunan bukan sekedar masalah pemasokan modal dan teknologi saja. Aspek manusia penting sekali sebagai pelaksana teknologi atau pelaku utama proses pembangunan yang berlangsung.

Maka Inkeles dan Smith kemudian memberikan ciri-ciri manusia modern, antara lain: keterbukaan terhadap terhadap pengalaman dan ide baru, berorientasi pada masa sekarang dan masa depan, punya kesanggupan merencanakan, percaya bahwa manusia bisa menguasai alam. Berdasarkan kajiannya, Smith-Inkeles menemukan bahwa pendidikan adalah lembaga paling efektif untuk mengubah manusia. Dampak pendidikan dipandang tiga kali lebih efektif dibanding pendekatan yang lain. Jika melihat kondisi Indonesia, salah satu yang krusial untuk dkembangklan adalah pendidikan, jika negara ingin modern dan pertumbuhan ekonomi tinggi, maka perhatian terhadap pendidikan harus besar.

Jika melihat dari 2 teori di atas sudah selayaknya kaum santri juga melakukan refokusing 2 ranah tersebut, yakni ranah peningkatan spiritualitas dan sektor pendidikan, kedua sektor ini sangat relevan dengan label santri sebagai cendekiawan muslim. Selain itu santri harus turut andil dalam pembangunan bangsa ini, pembangunan yang sampai saat ini masih dikesampingkan yakni pembangunan suprastruktur yakni pembangunan sumber daya manusia, penguatan skill dan penguatan lembaga-lembaga yang konsen di bidang pembangunan manusia, sebagai label santri yang sedari diri dipupuk dengan kemandirian dan pendidikan karakter sudah selayaknya santri mengambil peran ini karena adanya pembangunan infrastruktur yang kuat tanpa ditopang pembangunan suprastruktur yang established, kemajuan yang dicita-citakan akan pincang dan tidak bisa berjalan sesuai semestinya.

Identitas Penulis
*Penulis adalah Mahasiswa S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com atau ke Wa Center
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.
**Redaksi berhak merubah judul untuk keperluan SEO (search engine optimization)

Pos terkait