Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir yang bersumber dari Ibnu Juraij bahwa ayat ini (QS al-Hujurat: 12) turun berkenaan dengan peristiwa salah seorang sahabat Rasul saw yang bernama Salman al-Farisi yang bila selesai makan, suka terus tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada orang yang menggunjing perbuatannya. Maka turunlah QS al-Hujurat ayat 12 yang melarang seseorang mengumpat dan menceritakan aib orang lain.
Selaras dengan larangan Allah swt tersebut, Rasulullah saw juga melarang mengumbar aib orang lain. Sebagaimana sabdanya:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا
“Jauhilah oleh kalian prasangka, sebab prasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara” (HR al-Bukhari).
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata aib itu memiliki arti malu, cela, noda, salah ataupun keliru. Menurut al-Fairuz Abadzi dalam Al-Qamus al-Muhith, secara bahasa, aib (العيب) bermakna cacat atau kekurangan. Bentuk jamaknya adalah uyub. Adapun sesuatu yang memiliki aib, dalam bahasa Arab disebut ma’ib. Sementara itu dalam kitab ad-Dur al-Mukhtar, Al-Hasfaki menyampaikan bahwa sebagian ulama mazhab Hanafi menjelaskan aib dengan pengertian:
مَا يَخْلُو عَنْهُ أَصْل الْفِطْرَةِ السَّلِيمَةِ مِمَّا يُعَدُّ بِهِ نَاقِصًا
“Suatu bagian yang tidak ada dari asal penciptaannya dan hal itu dianggap sebagai bentuk kekurangan”.
Secara psikologis, jika kita mendengar suatu informasi dari orang lain lalu menjadikan hati kita merasa tidak enak, maka hal ini dapat disebut aib. Aib dapat berupa peristiwa, keadaan, atau suatu penjelasan. Seringkali aib sendiri maupun orang lain diumbar secara sadar/tidak sadar kita sebarkan ke orang lain, bahkan diviralkan ke media massa atau media sosial.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..