LINTASJATIM.com, Surabaya – Fenomena penggunaan sound horeg yang kembali mencuat di sejumlah daerah di Jawa Timur memicu respons serius dari masyarakat dan kalangan ulama.
Meski belum secara resmi mengeluarkan fatwa haram, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menyatakan dukungan penuh terhadap upaya pelarangan penggunaan sound horeg yang dianggap meresahkan.
Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Ma’ruf Khozin, menyampaikan bahwa suara bising dari sound horeg tidak hanya digunakan untuk hiburan, tetapi juga telah menyusup ke ruang-ruang publik yang seharusnya dijaga ketenangannya.
“Bahkan pernah ada kasus saat takbiran yang menggunakan alat semacam ini, dan itu jelas tidak diperkenankan dalam keputusan MUI,” ungkapnya dikutip dari detikJatim, Selasa (1/7/2025).
Kiai Ma’ruf menilai bahwa penggunaan sound horeg tidak mempertimbangkan lingkungan sekitar. Ia menegaskan bahwa suara keras dari alat ini sangat mungkin mengganggu warga yang sedang sakit, para santri yang sedang menimba ilmu, atau masyarakat umum yang butuh ketenangan.
“Kalau melintas di depan pondok pesantren atau sekolah, lalu mengeluarkan dentuman keras, itu sangat mengganggu. Belum lagi potensi negatif lainnya,” jelasnya.
Meskipun belum ada fatwa resmi, MUI Jatim membuka peluang untuk membahas hal ini lebih jauh.
“Jika ada elemen masyarakat yang mengajukan permohonan fatwa, tentu akan kita bahas bersama, apalagi dampaknya cukup luas,” kata Kiai Ma’ruf.
Ia juga menyamakan fenomena sound horeg dengan kebiasaan merokok yang sulit ditinggalkan.
“Para pelaku tentu merasa keberatan jika dilarang. Sama seperti rokok, penikmatnya merasa nyaman, padahal jika tanya ke dokter, pasti akan melarang. Tapi tetap saja, nasihat itu sering ditolak,” ujarnya.
Untuk menghindari gesekan sosial yang lebih luas, Kiai Ma’ruf mengimbau agar masyarakat yang gemar dengan suara keras tersebut dapat menikmati musik secara pribadi.
“Silakan kalau mau dengar musik keras, pakai headset. Jadi tidak mengganggu yang lain,” pesannya.
Dukungan MUI Jatim terhadap pelarangan sound horeg menunjukkan adanya kepedulian terhadap ketentraman publik. Kini tinggal menunggu apakah aspirasi masyarakat akan ditindaklanjuti dengan fatwa resmi, atau akan tetap menjadi wacana yang bergantung pada tekanan publik.