KPK Periksa Wakil Bupati Situbondo dan Sejumlah Saksi Lain Terkait Kasus Dana Hibah Jatim

Budi Prasetyo Tim Juru Bicara KPK memberikan keterangan kepada wartawan. Foto Antara
Budi Prasetyo Tim Juru Bicara KPK memberikan keterangan kepada wartawan. Foto Antara

LINTASJATIM.com, SitubondoKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) yang bersumber dari APBD Pemerintah Provinsi Jawa Timur tahun anggaran 2021–2022.

Pada Selasa (21/5/2025), KPK memeriksa Wakil Bupati Situbondo, Ulfiyah (U), sebagai saksi dalam perkara tersebut. Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih, Jakarta.

Bacaan Lainnya

“Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK atas nama U, Wakil Bupati Situbondo,” jelas Budi Prasetyo, Juru Bicara KPK, sebagaimana dikutip dari Antara.

Selain Ulfiyah, penyidik juga memanggil Zeiniye (Z), anggota DPRD Jawa Timur, untuk diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi. Pemeriksaan tersebut masih berkaitan dengan penyidikan atas dugaan korupsi dalam penyaluran hibah kepada kelompok masyarakat.

Tak hanya di Jakarta, KPK juga memeriksa sejumlah saksi di daerah lain. Sebanyak sepuluh orang diperiksa di Mapolres Pasuruan, terdiri dari pihak swasta (FF dan AAH), wiraswasta (AR dan A), karyawan swasta (BI), pensiunan (HA), tenaga kesehatan (KH), dan seorang notaris (AHH).

Selain itu, dua orang lainnya adalah MH, staf dari mantan Wakil Ketua DPRD Jatim Anwar Sadad, serta MLH, Direktur PT Sidogiri Pandu Utama.

KPK juga melakukan pemeriksaan terhadap delapan orang di Kantor Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Timur. Mereka diketahui pernah atau masih aktif di lingkungan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jatim. Saksi-saksi tersebut berinisial BJ, ES, MN, AB, J, HCB, SHP, dan NAR.

KPK sebelumnya telah menetapkan total 21 orang sebagai tersangka dalam kasus ini sejak 12 Juli 2024. Dari jumlah tersebut, empat orang merupakan penerima suap, tiga di antaranya adalah penyelenggara negara, sedangkan satu lainnya adalah staf dari pejabat negara tersebut. Sementara 17 orang lainnya ditetapkan sebagai pemberi suap.

“Sebanyak 15 di antaranya berasal dari pihak swasta, sedangkan dua lainnya adalah pejabat publik,” jelas Budi.

Kasus ini menjadi sorotan publik karena melibatkan banyak pihak, baik dari unsur pemerintahan maupun swasta, serta menunjukkan pola penyalahgunaan dana hibah yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat.

Pos terkait