LINTASJATIM.com, Situbondo – Pengembalian kawasan hutan Alastengah seluas 450 hektar oleh Kejaksaan Negeri Situbondo tidak meredakan kontroversi.
Di lapangan, warga mulai membangun secara liar di lahan tersebut. Aktivis lingkungan Edi Susanto mengungkapkan kekecewaannya atas situasi ini. Selasa, (15/10/2024).
Edi Susanto, yang melaporkan kasus sertifikasi lahan beberapa tahun lalu, menyatakan bahwa pelanggaran hukum terjadi. Masyarakat mulai membangun gudang tembakau, toko, dan rumah di lahan hutan.
“Saya menghargai langkah Kejaksaan, tetapi sangat kecewa melihat kenyataan ini,” ungkap Edi.
Edi menambahkan bahwa alat berat, seperti buldoser, sudah dikerahkan untuk mendukung pembangunan liar. Ia mempertanyakan apakah pengembalian sertifikat berarti masyarakat bebas membangun tanpa aturan.
“Bagaimana dengan kepastian hukum di desa Alastengah?” tanya Edi.
Dalam perjanjian kerja sama, disebutkan bahwa tidak boleh ada perubahan bentuk atau fungsi kawasan. Namun, ketentuan ini tampaknya diabaikan. Edi khawatir kerusakan hutan akan semakin meluas jika pembangunan ilegal terus dibiarkan.
“Laporan saya seolah tidak berarti jika hanya berakhir dengan pengembalian sertifikat,” keluh Edi.
Ia menyoroti ketidakberdayaan Perhutani KPH Bondowoso dalam menangani pelanggaran ini. “Ada apa dengan Perhutani KPH Bondowoso?” tanyanya.
Edi mendesak pihak terkait untuk bertindak tegas menghentikan pembangunan liar di Alastengah. Ia percaya penegakan hukum yang konsisten penting untuk pengelolaan hutan ke depan.
“Jika perlu, saya siap membawa kasus ini ke level lebih tinggi,” tegasnya.
Situasi ini memunculkan pertanyaan mengenai komitmen perlindungan hutan di Situbondo. Apakah pengembalian lahan hutan ini sekadar formalitas atau untuk keberlanjutan lingkungan? (Lil)
Sumber: BeritaNasional.ID