Pertama, adanya tragedi atau peristiwa memilukan yang pernah terjadi pada nenek moyang mereka pada bulan, hari atau waktu tertentu. Lalu mereka menganggap bulan tersebut sebagai bulan sial dan berpesan kepada anak cucunya untuk mewaspadai bulan tersebut agar tidak mengalami tragedy serupa.
Kedua, karena setiap manusia pada dasarnya punya sifat pesimis dengan kadar yang berbeda-beda. Jika sifat pesimis ini selalu dihubungkan dengan cerita nenek moyang dan cerita-cerita sial yang terjadi, maka pemilik sifat pesimis ini akan berburuk sangka terhadap sosok, tempat, atau waktu tertentu sebagai pembawa sial. Rasul Muhammad saw bersabda:
ثَلَاثٌ لَايَنْجُوْ مِنْهُنَّ أَحَدٌ: اَلظَّنُّ وَالطِّيَرَةُ وَالْحَسَدُ. (رواه إبن أبى الدنيا)
“Tiga perkara, tidak seorangpun yang selamat dari ketiganya; yaitu prasangka, pesimisme, dan hasad.” (HR. Ibnu Abi Dunya)
Jamaah shalat Jum’at hafidhakumullah…
Islam tidak mengenal hari, bulan, atau tahun sial. Sebagaimana seluruh keberadaan di alam raya ini, waktu adalah makhluk Allah. Waktu tidak bisa berdiri sendiri. Ia berada dalam kekuasaan dan kendali penuh Rabb-nya. Setiap umat Islam wajib berkeyakinan bahwa pengaruh baik maupun buruk tidak ada tanpa seizin Allah.
Rasulullah SAW sendiri justru melakukan berbagai hal positif di bulan Safar. Habib Abu Bakar al-‘Adni dalam Mandhumah Syarh al-Atsar fî Ma Warada ‘an Syahri Shafar memaparkan bahwa beberapa peristiwa penting yang dialami Nabi terjadi pada bulan Safar, di antaranya pernikahan beliau dengan Sayyidah Khadijah, menikahkah putrinya Sayyidah Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib, hingga mulai berhijrah dari Makkah ke Madinah.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..